Pungky Prayitno @ 2013. Diberdayakan oleh Blogger.

Lumpia Rasa Air Mata

Kalau gak salah dua hari yang lalu, aku pulang kuliah dalam keadaan  kelaparan. Sengaja mampir dulu ke warung lumpia deket kampus sebelum pulang ke rumah. Lumpia raksasa seharga tujuh ribu yang kalau di purwokerto dimakan sebagai lauk. Aku inget, sebelum berangkat tadi, pembantu di rumahku masak sayur asem. Pasti enak kalau lauknya lumpia raksasa. Aku beli satu, lalu pulang ke rumah dan siap makan enak.

Namanya bu Asanah, seorang ibu yang sudah dua bulan ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahku. Umurnya 50 tahun. Perempuan dengan lima anak dan tanpa suami. Suaminya pergi, pergi tanpa pernah ada kejelasan soal perceraian. Pergi meninggalkan lima orang anak dan gak pernah kembali sampai hari ini. Bu Asanah bekerja di rumahku setiap hari dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore. Rumahnya sekitar satu kilometer dari rumahku dan dia pulang pergi dengan jalan kaki.

Siang itu bu Asanah bilang sama aku, mau pinjam uang seratus ribu. Dia janji, akan mengembalikan uangku dengan gajinya. Aku tanya untuk apa, dia jawab untuk biaya buku sekolah anak bungsunya. Aku tanya kenapa meminjam, memang gajinya yang kemarin-kemarin kemana. Kemudian permohonan meminjam uangnya berakhir dengan cerita panjang tentang hidup keluarganya.

Anak bu Asanah ada lima. Tiga orang sudah bekerja, menikah dan punya anak. Semuanya hanya memberi uang pada bu Asanah seadanya setiap bulan. Karena merekapun harus menghidupi istri dan anak mereka. Sedangkan bekerja hanya sebagai supir taksi dan pelayan rumah makan. Uang dari anak-anak bu Asanah habis dipakai untuk biaya makan dan hidup sehari-hari karena bu Asanah masih harus menanggung hidup kedua orang tuanya yang sudah sangat renta, dan anak terakhirnya yang masih duduk di bangku SMP. Keadaan ini juga yang membuat bu Asanah harus bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Dia bilang, gajinya adalah satu-satunya rejeki saat ini untuk anak bungsunya bisa sekolah tinggi.

Bu Asanah cerita, setiap hari, anak bungsunya ke sekolah dengan ongkos lima ribu rupiah. Tiga ribu untuk bayar angkutan umum, dua ribu untuk jajan di sekolah. Kalau akhir bulan, ongkosnya berubah jadi tiga ribu rupiah. Hanya untuk naik angkutan. Tidak ada jajan dan sebelum berangkat sekolah sudah harus isi perut sampai kenyang. Ternyata ini yang jadi alesan bu Asanah gak mau berangkat ke rumahku naik angkutan. Katanya, kalau dia berangkat kerja naik angkutan, gak ada cukup uang untuk ongkos anaknya ke sekolah. Dia memilih jalan kaki setiap hari dengan jarak yang gak dekat. Sekalipun hujan bahkan petir, dia tetap jalan kaki.

Aku bilang, aku akan tambah gajinya asal dia mau naik angkutan kalau bekerja. Ongkos angkutan menuju rumahku biar aku yang bayar. Dia menolak, dia bilang mubazir. Kalau masih sanggup jalan kaki, dia akan tetap jalan kaki. Dia bilang gajinya yang sekarang cukup. Kalau aku punya uang lebih, lebih baik ditabungkan saja. Katanya biaya kuliah mahal, aku gak boleh kesusahan bayar kuliah hanya karena harus menaikkan gaji pembantu.

Sambil aku menikmati makan siang, bu Asanah tiba-tiba nyeletuk “itu lumpia jumbo yang dalemnya daging itu ya mbak?”. Aku ngangguk sambil tetap mengunyah lumpia dan sayur asem yang super duper enak. Terus dia lanjut ngomong, “kemaren juga anakku yang bungsu makan itu. Katanya beli sama temen-temen sekolah di rumah makan lumpia”. Aku tersenyum. Alhamdulillah.. anaknya masih bisa beli makanan yang kayak begini. Dan senyumku berhenti waktu dia bilang, “anakku ngumpulin uang jajannya mbak seminggu. Terus minta uang dua ribu. Katanya buat beli makanan enak. Eh pulang-pulang bawa lumpia itu dua biji. Buat makan malem orang serumah. Enak yah..”. Aku menelan sayur asemku. Rasanya perih. Kayak ada yang nyangkut di tenggorokan. Gak tau apa. mungkin rasa malu dan pengen nangis yang udah di ujung banget.

Lumpia ini harganya tujuh ribu. Di warungnya, pembelinya kebanyakan mahasiswa karena harganya yang murah. Biasanya dimakan satu lumpia untuk satu orang. Dan aku baru tau, kalau di titik purwokerto yang lain, ada keluarga yang harus ngumpulin uang dulu untuk bisa beli makanan ini. itupun dua lumpia untuk satu rumah. Berarti dibelah-belah.

“emang biasanya masak apa bu di rumah?”
“ya sayur mbak.. sayur tahu, sayur tempe kadang ikan asin”
“berapa bu sehari biaya masak buat makan satu rumah?”
“tujuh ribuan mbak..”

Siang ini, aku tau, aku lupa bersyukur untuk hal-hal sederhana. Lumpia ini contohnya.

21 komentar

  1. terharu, menggugah, makasi kak postingannya :')

    BalasHapus
  2. Makasih udah berbagi cerita bu Asanah ya Pungky (>o<)b
    *tertohok >> diingetin supaya lebih bersyukur lagi :(

    BalasHapus
  3. Pungky sekarang sudah di rumah? Sudah ndak kuliah lagi?

    Hmmmm... Yah,. Tujuh ribu bisa jadi memiliki nilai berbeda, di mata masing-masing manusia :)

    BalasHapus
  4. makasih ceritnya Ya Pungky, kadang kita memang harus di ingatkan dengan cara2 seperti ini.

    BalasHapus
  5. :'( padahal 7ribu itu sama dengan parkir 7 kali buat orang kaya

    BalasHapus
  6. jujur saya merinding kak baca tulisan ini

    BalasHapus
  7. Aaakkkk, aku merinding + sedih bacanya, dan ini masih pagi :(

    BalasHapus
  8. *ngusap airmata* langsung DEG banget kak baca ini :'(

    BalasHapus
  9. intinya harus tetep bersyukur ya mbak, masih byk di luar sana yang jauh tidak beruntung dari kita

    BalasHapus
  10. huaaaaaaaaaaa sedih kapung :(
    kebetulan banget maren pas taun baru aku ke purwokerto jenguk kakaku dan kita sempat makan lumpia jumbo itu

    BalasHapus
  11. tulisan ini bikin aku terharu :')

    BalasHapus
  12. ingat kata d'masiv juga sukuri apa yang ada. hidup adalah anugrah

    BalasHapus
  13. pagi2 gini aku jadi udah ngiler lumpia nya aja

    BalasHapus
  14. Catet ya yang ini, untuk kesekian postingan pungky*

    Alhamdulillah...hari ini aku bisa datang ke kantor, meski tertatih

    Salam
    Astin

    BalasHapus
  15. huaaaaa....bu Asanah suruh ikut aku aja siniii...#mewek...

    BalasHapus