Kalau gak salah dua hari yang lalu, aku pulang kuliah dalam
keadaan kelaparan. Sengaja mampir dulu
ke warung lumpia deket kampus sebelum pulang ke rumah. Lumpia raksasa seharga
tujuh ribu yang kalau di purwokerto dimakan sebagai lauk. Aku inget, sebelum berangkat
tadi, pembantu di rumahku masak sayur asem. Pasti enak kalau lauknya lumpia
raksasa. Aku beli satu, lalu pulang ke rumah dan siap makan enak.
Namanya bu Asanah, seorang ibu yang sudah dua bulan ini
bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahku. Umurnya 50 tahun. Perempuan
dengan lima anak dan tanpa suami. Suaminya pergi, pergi tanpa pernah ada
kejelasan soal perceraian. Pergi meninggalkan lima orang anak dan gak pernah
kembali sampai hari ini. Bu Asanah bekerja di rumahku setiap hari dari jam
sembilan pagi sampai jam empat sore. Rumahnya sekitar satu kilometer dari
rumahku dan dia pulang pergi dengan jalan kaki.
Siang itu bu Asanah bilang sama aku, mau pinjam uang seratus
ribu. Dia janji, akan mengembalikan uangku dengan gajinya. Aku tanya untuk apa,
dia jawab untuk biaya buku sekolah anak bungsunya. Aku tanya kenapa meminjam,
memang gajinya yang kemarin-kemarin kemana. Kemudian permohonan meminjam
uangnya berakhir dengan cerita panjang tentang hidup keluarganya.
Anak bu Asanah ada lima. Tiga orang sudah bekerja, menikah
dan punya anak. Semuanya hanya memberi uang pada bu Asanah seadanya setiap
bulan. Karena merekapun harus menghidupi istri dan anak mereka. Sedangkan
bekerja hanya sebagai supir taksi dan pelayan rumah makan. Uang dari anak-anak
bu Asanah habis dipakai untuk biaya makan dan hidup sehari-hari karena bu
Asanah masih harus menanggung hidup kedua orang tuanya yang sudah sangat renta,
dan anak terakhirnya yang masih duduk di bangku SMP. Keadaan ini juga yang
membuat bu Asanah harus bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Dia bilang,
gajinya adalah satu-satunya rejeki saat ini untuk anak bungsunya bisa sekolah
tinggi.
Bu Asanah cerita, setiap hari, anak bungsunya ke sekolah
dengan ongkos lima ribu rupiah. Tiga ribu untuk bayar angkutan umum, dua ribu
untuk jajan di sekolah. Kalau akhir bulan, ongkosnya berubah jadi tiga ribu
rupiah. Hanya untuk naik angkutan. Tidak ada jajan dan sebelum berangkat
sekolah sudah harus isi perut sampai kenyang. Ternyata ini yang jadi alesan bu
Asanah gak mau berangkat ke rumahku naik angkutan. Katanya, kalau dia berangkat
kerja naik angkutan, gak ada cukup uang untuk ongkos anaknya ke sekolah. Dia
memilih jalan kaki setiap hari dengan jarak yang gak dekat. Sekalipun hujan
bahkan petir, dia tetap jalan kaki.
Aku bilang, aku akan tambah gajinya asal dia mau naik
angkutan kalau bekerja. Ongkos angkutan menuju rumahku biar aku yang bayar. Dia
menolak, dia bilang mubazir. Kalau masih sanggup jalan kaki, dia akan tetap
jalan kaki. Dia bilang gajinya yang sekarang cukup. Kalau aku punya uang lebih,
lebih baik ditabungkan saja. Katanya biaya kuliah mahal, aku gak boleh
kesusahan bayar kuliah hanya karena harus menaikkan gaji pembantu.
Sambil aku menikmati makan siang, bu Asanah tiba-tiba
nyeletuk “itu lumpia jumbo yang dalemnya daging itu ya mbak?”. Aku ngangguk
sambil tetap mengunyah lumpia dan sayur asem yang super duper enak. Terus dia
lanjut ngomong, “kemaren juga anakku yang bungsu makan itu. Katanya beli sama
temen-temen sekolah di rumah makan lumpia”. Aku tersenyum. Alhamdulillah..
anaknya masih bisa beli makanan yang kayak begini. Dan senyumku berhenti waktu
dia bilang, “anakku ngumpulin uang jajannya mbak seminggu. Terus minta uang dua
ribu. Katanya buat beli makanan enak. Eh pulang-pulang bawa lumpia itu dua
biji. Buat makan malem orang serumah. Enak yah..”. Aku menelan sayur asemku.
Rasanya perih. Kayak ada yang nyangkut di tenggorokan. Gak tau apa. mungkin
rasa malu dan pengen nangis yang udah di ujung banget.
Lumpia ini harganya tujuh ribu. Di warungnya, pembelinya
kebanyakan mahasiswa karena harganya yang murah. Biasanya dimakan satu lumpia
untuk satu orang. Dan aku baru tau, kalau di titik purwokerto yang lain, ada
keluarga yang harus ngumpulin uang dulu untuk bisa beli makanan ini. itupun dua
lumpia untuk satu rumah. Berarti dibelah-belah.
“emang biasanya masak
apa bu di rumah?”
“ya sayur mbak.. sayur
tahu, sayur tempe kadang ikan asin”
“berapa bu sehari
biaya masak buat makan satu rumah?”
“tujuh ribuan mbak..”
Siang ini, aku tau, aku lupa bersyukur untuk hal-hal
sederhana. Lumpia ini contohnya.
kak :')
BalasHapusterharu, menggugah, makasi kak postingannya :')
BalasHapusMakasih udah berbagi cerita bu Asanah ya Pungky (>o<)b
BalasHapus*tertohok >> diingetin supaya lebih bersyukur lagi :(
Pungky sekarang sudah di rumah? Sudah ndak kuliah lagi?
BalasHapusHmmmm... Yah,. Tujuh ribu bisa jadi memiliki nilai berbeda, di mata masing-masing manusia :)
makasih ceritnya Ya Pungky, kadang kita memang harus di ingatkan dengan cara2 seperti ini.
BalasHapusGood reads...
BalasHapus:'( padahal 7ribu itu sama dengan parkir 7 kali buat orang kaya
BalasHapusjujur saya merinding kak baca tulisan ini
BalasHapusiya ya, aku baru sadar... :')
BalasHapusAaakkkk, aku merinding + sedih bacanya, dan ini masih pagi :(
BalasHapus*ngusap airmata* langsung DEG banget kak baca ini :'(
BalasHapusintinya harus tetep bersyukur ya mbak, masih byk di luar sana yang jauh tidak beruntung dari kita
BalasHapushuaaaaaaaaaaa sedih kapung :(
BalasHapuskebetulan banget maren pas taun baru aku ke purwokerto jenguk kakaku dan kita sempat makan lumpia jumbo itu
tulisan ini bikin aku terharu :')
BalasHapussedih banget mba baca ini postingan
BalasHapusingat kata d'masiv juga sukuri apa yang ada. hidup adalah anugrah
BalasHapustrus saya nangis baca ini..:'(
BalasHapuspagi2 gini aku jadi udah ngiler lumpia nya aja
BalasHapusCatet ya yang ini, untuk kesekian postingan pungky*
BalasHapusAlhamdulillah...hari ini aku bisa datang ke kantor, meski tertatih
Salam
Astin
huaaaaa....bu Asanah suruh ikut aku aja siniii...#mewek...
BalasHapuskreeeepeeeessss nyeeesss
BalasHapus