Pungky Prayitno @ 2013. Diberdayakan oleh Blogger.

Soal Hati Mahasiswa Komunikasi

Mari sejenak duduk menonton televisi dengan saluran saluran dalam negeri. Menikmati tayangan-tayangan khas televisi saat ini. Aku sedang tidak mengajak kalian menikmati hal menarik dalam televisi. Karena aku tau, satu-satunya yang menarik di siaran televisi Indonesia adalah sejuta hal yang mengantri untuk dibully. Jadi saja pemirsa selayaknya, sebentar saja.

Apa yang menghibur dari adegan Olga dan Jessica tindih-tindihan di acara yang katanya hiburan? Apa yang bisa ditertawakan dari tayangan lawak bertema opera jawa yang isinya penuh dengan adegan kekerasan dan mencelakai orang lain? Apa yang bisa dinikmati dari cerita cecintaan di sinetron anak sekolahan? Apa yang menyenangkan dari konser boyband bernama junior yang lirik lagunya berkutat tentang jatuh cinta ala orang dewasa? Apa yang bisa dinikmati dari televisi kita?

Lebih lagi kalau tontonan-tontonan seperti ini jatuh ke mata anak-anak di bawah umur.  Apa yang bisa mereka contoh dari televisi negeri ini? jatuh cinta cengeng ala sinetron? Atau mencelakai orang lain ala tayangan lawak? Atau menghina orang lain ala acara hiburan? Atau lirik-lirik lagu mahasampah di acara berjinggle yeyeye lalalala?

Lumpia Rasa Air Mata

Kalau gak salah dua hari yang lalu, aku pulang kuliah dalam keadaan  kelaparan. Sengaja mampir dulu ke warung lumpia deket kampus sebelum pulang ke rumah. Lumpia raksasa seharga tujuh ribu yang kalau di purwokerto dimakan sebagai lauk. Aku inget, sebelum berangkat tadi, pembantu di rumahku masak sayur asem. Pasti enak kalau lauknya lumpia raksasa. Aku beli satu, lalu pulang ke rumah dan siap makan enak.

Namanya bu Asanah, seorang ibu yang sudah dua bulan ini bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumahku. Umurnya 50 tahun. Perempuan dengan lima anak dan tanpa suami. Suaminya pergi, pergi tanpa pernah ada kejelasan soal perceraian. Pergi meninggalkan lima orang anak dan gak pernah kembali sampai hari ini. Bu Asanah bekerja di rumahku setiap hari dari jam sembilan pagi sampai jam empat sore. Rumahnya sekitar satu kilometer dari rumahku dan dia pulang pergi dengan jalan kaki.

Siang itu bu Asanah bilang sama aku, mau pinjam uang seratus ribu. Dia janji, akan mengembalikan uangku dengan gajinya. Aku tanya untuk apa, dia jawab untuk biaya buku sekolah anak bungsunya. Aku tanya kenapa meminjam, memang gajinya yang kemarin-kemarin kemana. Kemudian permohonan meminjam uangnya berakhir dengan cerita panjang tentang hidup keluarganya.

Anak bu Asanah ada lima. Tiga orang sudah bekerja, menikah dan punya anak. Semuanya hanya memberi uang pada bu Asanah seadanya setiap bulan. Karena merekapun harus menghidupi istri dan anak mereka. Sedangkan bekerja hanya sebagai supir taksi dan pelayan rumah makan. Uang dari anak-anak bu Asanah habis dipakai untuk biaya makan dan hidup sehari-hari karena bu Asanah masih harus menanggung hidup kedua orang tuanya yang sudah sangat renta, dan anak terakhirnya yang masih duduk di bangku SMP. Keadaan ini juga yang membuat bu Asanah harus bekerja menjadi pembantu rumah tangga. Dia bilang, gajinya adalah satu-satunya rejeki saat ini untuk anak bungsunya bisa sekolah tinggi.

Bu Asanah cerita, setiap hari, anak bungsunya ke sekolah dengan ongkos lima ribu rupiah. Tiga ribu untuk bayar angkutan umum, dua ribu untuk jajan di sekolah. Kalau akhir bulan, ongkosnya berubah jadi tiga ribu rupiah. Hanya untuk naik angkutan. Tidak ada jajan dan sebelum berangkat sekolah sudah harus isi perut sampai kenyang. Ternyata ini yang jadi alesan bu Asanah gak mau berangkat ke rumahku naik angkutan. Katanya, kalau dia berangkat kerja naik angkutan, gak ada cukup uang untuk ongkos anaknya ke sekolah. Dia memilih jalan kaki setiap hari dengan jarak yang gak dekat. Sekalipun hujan bahkan petir, dia tetap jalan kaki.

Aku bilang, aku akan tambah gajinya asal dia mau naik angkutan kalau bekerja. Ongkos angkutan menuju rumahku biar aku yang bayar. Dia menolak, dia bilang mubazir. Kalau masih sanggup jalan kaki, dia akan tetap jalan kaki. Dia bilang gajinya yang sekarang cukup. Kalau aku punya uang lebih, lebih baik ditabungkan saja. Katanya biaya kuliah mahal, aku gak boleh kesusahan bayar kuliah hanya karena harus menaikkan gaji pembantu.

Sambil aku menikmati makan siang, bu Asanah tiba-tiba nyeletuk “itu lumpia jumbo yang dalemnya daging itu ya mbak?”. Aku ngangguk sambil tetap mengunyah lumpia dan sayur asem yang super duper enak. Terus dia lanjut ngomong, “kemaren juga anakku yang bungsu makan itu. Katanya beli sama temen-temen sekolah di rumah makan lumpia”. Aku tersenyum. Alhamdulillah.. anaknya masih bisa beli makanan yang kayak begini. Dan senyumku berhenti waktu dia bilang, “anakku ngumpulin uang jajannya mbak seminggu. Terus minta uang dua ribu. Katanya buat beli makanan enak. Eh pulang-pulang bawa lumpia itu dua biji. Buat makan malem orang serumah. Enak yah..”. Aku menelan sayur asemku. Rasanya perih. Kayak ada yang nyangkut di tenggorokan. Gak tau apa. mungkin rasa malu dan pengen nangis yang udah di ujung banget.

Lumpia ini harganya tujuh ribu. Di warungnya, pembelinya kebanyakan mahasiswa karena harganya yang murah. Biasanya dimakan satu lumpia untuk satu orang. Dan aku baru tau, kalau di titik purwokerto yang lain, ada keluarga yang harus ngumpulin uang dulu untuk bisa beli makanan ini. itupun dua lumpia untuk satu rumah. Berarti dibelah-belah.

“emang biasanya masak apa bu di rumah?”
“ya sayur mbak.. sayur tahu, sayur tempe kadang ikan asin”
“berapa bu sehari biaya masak buat makan satu rumah?”
“tujuh ribuan mbak..”

Siang ini, aku tau, aku lupa bersyukur untuk hal-hal sederhana. Lumpia ini contohnya.

Lepas

untuk kamu, yang satu jam lalu masih disini.

kamu pasti masih hafal kalau aku benci basa-basi. aku hanya ingin kamu membaca ini. dan aku berharap, setelahnya semua kembali baik-baik saja. seperti enam puluh menit yang lalu.

Sayang... ketika dihadapkan dengan lepas, kamu juga harus belajar tentang ikhlas. Supaya kamu tidak lagi sakit. Tidak perlu menangis sembab hingga larut. Tidak usah memberhentikan apa-apa. Tetaplah menjadi kamu walau katamu tanpa sebagian kamu.

Aku percaya Tuhan itu adil. Dia menciptakan segala dengan pasangannya. Seperti laki-laki dengan perempuan, seperti siang dengan malam, seperti pertemuan dengan perpisahan. Tersenyumlah sayang, biarkan pertemuan kita menjemput jodohnya. Ikhlaskan pertemuan kita menjadi sempurna.

Bersamamu itu indah, aku berani bersumpah. Namun takdir tetaplah takdir. Kamu ingat kan kita sudah berusaha? Kita sudah sayang. Kalaupun tidak lagi bisa, aku mohon berhentilah memaksa. ada hal-hal yang tidak bisa kita paksakan pada putaran hidup. Ikhlas sayang, hidup tidak pernah sejahat yang kamu hujat.
Sayang, berhentilah menangisi kita. Kembali lah menjadi kamu yang membuatku jatuh cinta dulu. Cinta bukan alasan memeras air mata. Cinta adalah alasan kita bahagia, dengan tidak lagi sama-sama.
Aku mencintaimu seperti pertama. Tapi, cinta, punya jalannya sendiri tanpa bisa dipaksa.

Alpha.