Pic Source |
Judul Buku : Sang Patriot Sebuah Epos Kepahlawanan
Penulis : Irma Devita
Penerbit : Inti Dinamika Publisher
Tebal : 266 Halaman
Harga : Rp.65.000
ISBN : 978-602-14969-0-9
Sebagai seorang yang anti banget pelajaran sejarah, pertama kedatangan novel ini, sejujurnya gak tertarik dan malas untuk mulai baca. Terlanjur males sama segala yang berhubungan tentang sejarah Indonesia gegara dari SMP, pelajaran sejarah selalu menyebalkan, penuh hafalan dan bikin ngantuk. Tapi, demi menghargai sang penulis yang mengirim buku ini langsung, karena aku jadi salah satu pemenang syukuran bulan maret, aku memaksa diri untuk mulai membuka dan membaca.
Dan semua, berubah sejak halaman satu, prolog. Dimana penulis dengan sangat lihai membuka novelnya dengan penutup cerita. Aku, sebagai orang yang anti dengan sejarah, tiba-tiba tersihir untuk terus dan terus membuka lembar demi lembar sampai titik tamat. Baru ini sejarah ditulis sebegini asyiknya. Dan baru ini aku betah menghabiskan satu buku sejarah dalam dua hari. Bayangkan, sodara-sodaraaa.. satu buku sejarah dalam dua hari. Bagi seorang Pungky, ini prestasi yang harus banget dikeprokin. Ayo coba tolong keprokin.. x)
Judulnya Sang Patriot, memilih tagline Sebuah Epos Kepahlawanan, bercerita tentang perjuangan di masa penjajahan dengan bahasa yang ringan dan menyenangkan. Penulisnya adalah Irma Devita, seorang perempuan cantik kelahiran Jakarta yang sukses meneruskan mimpi neneknya menjadi praktisi hukum. Impian nenek yang dulu kandas karena pernikahan dan perjuangan, dilanjutkan sekian puluh tahun kemudian oleh cucunya sendiri. Cucu yang pernah kenyang dengan dongeng-dongeng nenek tentang masa penjajahan, yang puas mendengar cerita soal sang kakek. Pahlawan Jember yang gugur beriring ribuan malaikat. Pejuang yang menukar darah dan nyawanya dengan masa depan cerah untuk bumi pertiwi.
Adalah Letkol Mochammad Sroedji, bapak dari ibu si penulis, tokoh utama yang diceritakan dalam novel 266 halaman ini. Seorang pejuang pertahanan kemerdakaan yang lahir sebagai anak pedagang. Seharusnya dia besar sebagai pedagang, tapi kemauan kerasnya untuk bersekolah dan berjuang melawan hidup sejak kecil, menjadikan Sroedji pejuang di masa depan. Pejuang yang melawan kebodohan, ketakutan, kemalasan, keputusasaan, sampai kejamnya penjajahan. Adalah Rukmini, perempuan cerdas yang diperistri Sroedji, ibu empat anak berhati sekeras baja dengan level kesetiaan dan pengabdian untuk keluarga diatas luar biasa.
Novel ini, melalui perjalanan kehidupan Sroedji, sukses membawa pembaca berpetualang ke masa lalu. Membacanya, seperti sedang masuk ke lorong waktu dan mengalami sendiri apa yang terjadi di Indonesia silam. Irma Devita, dengan lihai menyeret pembaca untuk langsung berada di masa-masa yang ia tetapkan. Dalam sebuah bab, Irma bahkan seperti menyediakan tempat kosong di dekat jembatan kali Brantas untuk pembacanya berdiri dan menyaksikan langsung pertempuran tank-tank besar penjajahan melawan senjata-senjata seadanya batalion Alap-Alap pimpinan Sroedji.
Penerbit : Inti Dinamika Publisher
Tebal : 266 Halaman
Harga : Rp.65.000
ISBN : 978-602-14969-0-9
Sebagai seorang yang anti banget pelajaran sejarah, pertama kedatangan novel ini, sejujurnya gak tertarik dan malas untuk mulai baca. Terlanjur males sama segala yang berhubungan tentang sejarah Indonesia gegara dari SMP, pelajaran sejarah selalu menyebalkan, penuh hafalan dan bikin ngantuk. Tapi, demi menghargai sang penulis yang mengirim buku ini langsung, karena aku jadi salah satu pemenang syukuran bulan maret, aku memaksa diri untuk mulai membuka dan membaca.
Dan semua, berubah sejak halaman satu, prolog. Dimana penulis dengan sangat lihai membuka novelnya dengan penutup cerita. Aku, sebagai orang yang anti dengan sejarah, tiba-tiba tersihir untuk terus dan terus membuka lembar demi lembar sampai titik tamat. Baru ini sejarah ditulis sebegini asyiknya. Dan baru ini aku betah menghabiskan satu buku sejarah dalam dua hari. Bayangkan, sodara-sodaraaa.. satu buku sejarah dalam dua hari. Bagi seorang Pungky, ini prestasi yang harus banget dikeprokin. Ayo coba tolong keprokin.. x)
Judulnya Sang Patriot, memilih tagline Sebuah Epos Kepahlawanan, bercerita tentang perjuangan di masa penjajahan dengan bahasa yang ringan dan menyenangkan. Penulisnya adalah Irma Devita, seorang perempuan cantik kelahiran Jakarta yang sukses meneruskan mimpi neneknya menjadi praktisi hukum. Impian nenek yang dulu kandas karena pernikahan dan perjuangan, dilanjutkan sekian puluh tahun kemudian oleh cucunya sendiri. Cucu yang pernah kenyang dengan dongeng-dongeng nenek tentang masa penjajahan, yang puas mendengar cerita soal sang kakek. Pahlawan Jember yang gugur beriring ribuan malaikat. Pejuang yang menukar darah dan nyawanya dengan masa depan cerah untuk bumi pertiwi.
Adalah Letkol Mochammad Sroedji, bapak dari ibu si penulis, tokoh utama yang diceritakan dalam novel 266 halaman ini. Seorang pejuang pertahanan kemerdakaan yang lahir sebagai anak pedagang. Seharusnya dia besar sebagai pedagang, tapi kemauan kerasnya untuk bersekolah dan berjuang melawan hidup sejak kecil, menjadikan Sroedji pejuang di masa depan. Pejuang yang melawan kebodohan, ketakutan, kemalasan, keputusasaan, sampai kejamnya penjajahan. Adalah Rukmini, perempuan cerdas yang diperistri Sroedji, ibu empat anak berhati sekeras baja dengan level kesetiaan dan pengabdian untuk keluarga diatas luar biasa.
Novel ini, melalui perjalanan kehidupan Sroedji, sukses membawa pembaca berpetualang ke masa lalu. Membacanya, seperti sedang masuk ke lorong waktu dan mengalami sendiri apa yang terjadi di Indonesia silam. Irma Devita, dengan lihai menyeret pembaca untuk langsung berada di masa-masa yang ia tetapkan. Dalam sebuah bab, Irma bahkan seperti menyediakan tempat kosong di dekat jembatan kali Brantas untuk pembacanya berdiri dan menyaksikan langsung pertempuran tank-tank besar penjajahan melawan senjata-senjata seadanya batalion Alap-Alap pimpinan Sroedji.
Pic Source |
Membaca sejarah tentu sangat membosankan, tapi Irma, sekali lagi mampu mengolah cerita perang menjadi sangat menarik untuk terus disimak dan disaksikan. Aku menganggumi gaya bahasa dan kekayaan kosakata yang dia punya. Jarang ada kata berulang dalam paragraf-paragraf di novel ini. Penulis selalu punya kata baru untuk menyatakan maksud yang sama. Kalimat-kalimatnya rapi dan matang. Sekalipun bertema sejarah, novel ini membuat pembacanya susah bosan. Saking gaya bahasanya menyenangkan untuk terus dipelototin halaman demi halaman.
Satu hal yang aku salut dari penulis adalah kemampuan risetnya. Seabrek informasi dan fakta-fakta sejarah dia kumpulkan dari berbagai sumber untuk kemudian di susun, di olah dan dibuat cerita fiksi yang nyaman dibaca. Ceritanya detil sampai ke latar belakang tokoh-tokoh bahkan tanggal, tempat sampai jam kejadian. Belum lagi susunan waktu peristiwa-peristiwa pergolakan di masa penjajahan. Irma dengan sangat telaten dan sabar (banget) menyusunnya sehingga cerita nyambung dan jelas. Perempuan satu anak ini menyusuri informasi ke saksi-saksi sejarah yang masih hidup, musium-musium, arsip-arsip nasional bahkan mengingat lalu mencatat dengan baik cerita sang nenek. Kalau aku, disuruh riset soal sejarah begitu, trus harus nyusun peristiwa-peristiwa dengan’dekorasi’ bahasa Belanda, Jepang, dan Jawa yang ribetnya bikin mules, belom lagi tokohnya segambreng dan namanya susah susah karena ejaan lama, mending pura-pura pingsan :)))
Hal lain yang aku salut dari penulis adalah caranya membolak-balik emosi pembaca dengan berbagai cara. Gaya bahasa, alur cerita yang dibolak-balik, penokohan, sampai peletakan tanda baca dan pergantian bab. Ada saat-saat aku baca sambil senyum-senyum karena keromantisan Sroedji dan Rukmini, ada saat aku ngakak karena geli dengan ulah Sroedji muda, ada saat aku geram sampai hati rasanya mendidih karena marah dengan kejinya penjajahan, ada saat aku mewek karena haru dan nelangsa dengan kesetiaan Rukmini, ada saat aku jerit saking gemesnya dengan para pengkhianat perjuangan, ada saat aku datar-datar aja karena cerita hanya berisi informasi-informasi sejarah tanpa permainan emosi.
Bagian kesukaanku dalam novel ini, adalah kisah perjalanan Rukmini sejauh 200 kilometer dengan kehamilan 8 bulan dalam rangka berlindung dari incaran Belanda yang mencari keluarga Sroedji. Demi masa depan anak-anak dan negeri tercinta, Rukmini ikhlas menyeret kakinya yang menopang dua tubuh sekaligus sampai bengkak-bengkak. Melewati bukit, gunung, hutan, dengan bekal seadanya. Semua ibu, termasuk aku, tentu tau kalau kehamilan 8 bulan itu jalan sebentar aja rasanya udah gak karu-karuan. Badan sakit semua dan nafas engap karena perut terus membesar dan menekan. Tapi Rukmini, hati mulia sekeras baja yang dia punya, mengantar dia dari Jember sampai Kediri, berkendara kakinya sendiri. Selang berpuluh tahun, anak dalam kandungan yang ikut berjuang itu, menghadiahkan Rukmini cucu cantik nan cerdas. Seorang penulis tangguh, Irma Devita.
Kisah lain yang cukup bikin mata berair dan hati meleleh adalah saat pertempuran Surabaya, 10 November 1945. Para pejuang yang jelas-jelas kalah dalam persenjataan tetap maju menghadang tentara Inggris agar tidak masuk dan menghancurleburkan Surabaya. Rencana penghancurleburan Surabaya ini adalah balas dendam Inggris atas penembakan AWS. Mallaby dan tewasnya Jendral Robert Guy Loder-Symonds DSO. MC (Duh, nulis satu nama aja susah bener >.<). Dalam kisah ini, ada tiga kalimat yang serta merta bikin aku meleleh dan menitikkan air mata.
“Walau kalah dalam persenjataan, tak menyurutkan semangat dan keberanian para pejuang. Mereka tumbuh di sini, di Surabaya. Mereka hafal betul seluk beluk kota sampai ke sudut-sudutnya.”
Irma, sang penulis, berhasil menggambarkan RUMAH. Para pejuang dengan segenap cintanya pada negeri, bersinergi dengan tanah dan rumah tempat mereka hidup, melawan penjajah. Rumah yang mereka hafal sampai sudut-sudutnya, melindungi mereka dari kejinya tentara Inggris. Karena mereka tumbuh di sini, di Surabaya.
Secara fisik, buku 280 halaman ini cukup mewakili isinya. Dengan sampul merah menyala bertulis tinta emas, menyiratkan kondisi perang dan kehormatan sang patriot. Blurb-nya juga menarik, bikin penasaran. Hanya aja fontnya kegedean untuk sebuah blurb dan tata letaknya kurang rapi. Jadi keliatan timpang sama bagusnya sampul depan. Secara keseluruhan sih, nyaman buat dipegang dan dipantengin lama-lama :)
---
Tapi, namanya buku dan pembaca, tentu ada hal-hal yang kurang klop. Beberapa hal dalam buku ini sedikit mengganjal buat aku.
Pertama, terlalu banyak peristiwa penting dalam hidup Sroedji yang diceritakan di novel ini. Sehingga banyak kisah yang hanya selewatan dan malah kehilangan maknanya. Kisah-kisah yang akhirnya kerasa numpang lewat. Harus ditulis karena penting tapi gak bisa dijabarkan (mungkin) karena keterbatasan halaman. Jarang ada pembaca yang doyan novel ketebelan, dan penulis Sang Patriot sepertinya paham itu. Dia meringkas, merangkum dan membuat seabrek peristiwa penting tetap ada namun gak boros halaman. Tapi ya itu tadi, untuk seorang yang buta sejarah macam aku, banyak kisah yang akhirnya ngganjel karena aku gak paham cerita keseluruhannya. Terutama cerita-cerita perang. Banyak juga tokoh-tokoh yang macam hantu, datang dan pergi tiba-tiba. Belum dapat jawaban dia itu siapa, udah ilang lagi. Jadi, aku saranin untuk orang yang buta sejarahnya lebih akut dari aku, baca novel ini pelan-pelan banget dan sambil googling. Kayak akoooh x)
Kedua, ritme ceritanya, buat aku kurang nyaman dibaca. Di awal novel, cerita terasa detil dan lambat. Kisah Sroedji kecil sampai lulus menjadi perwira PETA, jelas dan rinci. Bahkan sampai kejadian-kejadian sederhana seperti keberangkatan keluarga Sroedji naik haji dengan kapal laut, diceritakan dengan lambat. Selepas itu, cerita jadi seperti keburu-buru. Tau-tau begini, tiba-tiba begitu, dan ritmenya mendadak cepet banget. Sekarang Sroedji adalah komandan A, beberapa halaman kemudian udah ganti jadi komandan B, trus entah gimana ceritanya di beberapa halaman kemudian udah jadi komandan X. Mungkin karena itu tadi, terlalu banyak informasi dan fakta sejarah yang harus masuk novel. Jadinya malah kayak mendadak ngebut.
Ketiga, kronologi sejarah Indonesia diluar ‘lingkaran Sroedji’, kurang bumbu penyedap. Segala sesuatu yang terjadi dan dialami Sroedji beserta keluarganya, tentu ada hubungannya dengan kondisi Indonesia secara keseluruhan pada masa itu. Dan kondisi keseluruhan ini seringkali digambarkan dengan biasa aja. Persis buku sejarah jaman sekolah. Mungkin karena gak ada Sroedji dan Rukmini-nya, jadi ikut kehilangan emosi dan bumbu penyedap itu tadi. Datar. Beneran kayak baca buku pelajaran.
Keempat, penulisan terjemahan langsung setelah bahasa asing, sangat menganggu. Karena biasanya, setelah bahasa asing (atau dalam novel ini ada juga bahasa Jawa), diterjemahkan dengan nomer yang kemudian dijelaskan di catatan kaki. Mengganggu acara membaca karena aku suka ngira kalau itu bagian dari kalimat atau dialog, nyatanya terjemahan kalimat asing di depannya. Jadi sedikit bikin rancu.
Terakhir, novel ini ramai dengan istilah-istilah militer. Entah yang masih digunakan sekarang, atau udah ditinggalkan. Jadi, aku saranin banget buat pembaca yang kuper militernya selevel aku, buat rajin-rajin cari tau. Biar ceritanya gak ngambang. Yang jelas, membaca novel ini, aku jadi pinter istilah militer. Karena setiap gak ngerti, aku googling dulu sebelum lanjutin cerita. Daripada jadi gak paham kan ceritanya.. Dan sukses aja sekarang aku ngelotok banget kalau ditanya apa itu komandan, batalion, letkol, brigade, overste, mayor, sersan, panglima besar, kompi, sampai tau bentuk-bentuk senjata pada jamannya. Pinter kan aku kan, ayo coba keprokin lagi x))
--
Membaca Sroedji, adalah membaca inspirasi. Kisah beriring darah dan keringat para pejuang di masa penjajahan, kesetiaan dan pengabdian orang-orang sekitar pejuang, sampai rakyat biasa yang bahu membahu membantu pejuang, adalah bukti bahwa negeri ini pernah keren. Pernah diperjuangkan sampai sebegitunya. Malu rasanya hidup leha-leha aku dan keluarga sekarang, adalah buah mimpi badan penuh sabetan rotan dan kaki bengkak karena seiza semalaman para pejuang. Mereka rela ditempa tanpa rasa manusia, hidup tanpa istirahat, makan seadanya, bersahabat granat dan timah panas, bahkan rela tubuh diacak-acak penjajah, demi satu cita, hidup anak cucu tanpa menderita. Dan itu, kita.
---
Sri Pung, terima kasih atas partisipasinya ya :)
BalasHapusBagus banget Mak Pungky......Semoga sukses....;-)
BalasHapusMari kita teladani Sang Patriot dan teruskan perjuangannya sesuai kemampuan dan bidang masing2
BalasHapusSalam sayang selalu
Keren Pungky... reviewnya.
BalasHapusMemang tak mudah membuat novel dari kisah sejarah yang sudah berpuluh tahun lalu...
Semoga sukses utk lombanya :)
novel ini memang sangat layak dibaca ..terutama untuk generasi muda zaman sekarang,,yg sudah terkontaminasi oleh sosok hero dari luarnegri...sehingga melupakan para pahlawan bangsa yang telah berkorban jiwa raga demi kemerdekaan negri Indonesia...
BalasHapusselamat berlomba..semoga menjadi yang terbaik....
keep happy blogging always...salam dari Makassar :-)
waah mak Pungky gak suka baca sejarah...hihi kebalikan dari aku...btw reviewnya menunjukkan mak Pungky serius dengan novel ini.goodluck mak
BalasHapusGood luck ya pungky, kalau menanga traktir :) eh aku masih punya utang ya
BalasHapussaya juga sangat suka bagian saat Rukmini harus hijrah itu.. disitu digambarkan dengan sebegitu detailnya, juga tetep bolak balik penokohan, ada kalanya Rukmini kuat adakalanya dia juga lemah, betul2 digambarkan asli dg sifat manusia.. novel ini JELAS2 BUKAN SINETRON.... (sengaja mencet capslock)
BalasHapusaku juga ga terlalu suka pelajaran sejarah mak.. hehe eh lihat fotonya jadi inget foto yangkungku jadul banget hahahaha sukses ya mak GAnya
BalasHapusSetujuuu pung, bagian rukmini hijrah itu yg bikin ngilu, ngebayangin hamil tua jalan berkilo2.
BalasHapusAku suka sejarah tp hanya sekedar suka, dan buku ini menambah pengetahuan ttg sejarah yg gak begitu dikenal masyarakat Indonesia pd umumnya.
"pernah keren", smoga bisa jd lbh keren lagi dgn anak2 muda yg menghargai sejarah bangsa dan mampu berbuat :)
BalasHapusMerahnya merah! :)
BalasHapusutuk kategori tak suka sejarah bisa bikin review kek gini sih pantes dikeprokin sambil berdiri kamu pung....lengkap dan tetap dengan gayamu.jiyahahaha...sukses yeeeeeeeeeee
BalasHapusprok prok prok, , , untuk mbak pungky yang udah namatin buku sejarah dalam dua hari
BalasHapusTerima kasih ya pungky sudah rela mengesampingkan ketidak sukaannya terhadap sejarah dengan berani membuka lembar pertama novel Sang Patriot dan dengan gagah berani menyelesaikannya wlau terpaksa harus googling he.he.he.he.. :))) Trmksh ya pungky ;)
BalasHapusOk mbak Pungky, sebelum lanjut respon komentarku, boleh tau apa itu "keprokin" , tadi googling gak nemu loh :)
BalasHapusReviewnya bagus, kelebihan dan kekurangan serta saran buat penulis ditulis dengan bahasa yang tidak membosankan, keren deh pokoknya :)
review novel yang bagus....selamat berlomba...
BalasHapusselamat berlomba..semoga menjadi yang terbaik pada kontes SEO
BalasHapussalam kenal dari www.yaumilakbarfirdaus.com.
BalasHapusseorang bloger yang tinggal jauh dari keramaian kota.
Terima kasih atas partisipasinya ya Mak Pungky :)
BalasHapus