Pungky Prayitno @ 2013. Diberdayakan oleh Blogger.

Riuh Ramah Kampung Lawas Maspati


Ibu berdaster biru itu mendekatkan tubuhnya ke tubuhku, matanya basah, tanda sebentar lagi akan ada yang tumpah.

"Usia saya sudah 50 tahun, dik. Tapi belum menikah.."

Aku memilih diam, membalas ceritanya dengan tersenyum.

"Tapi saya kelihatan sehat kan?"

Aku mengangguk cepat. Berusaha segera kabur dari situasi yang bikin canggung ini. Rombongan masih jauh, aku yang jalan duluan ternyata harus nyangkut di depan rumah ibu berdaster biru. Yang gak menyebutkan nama, tapi tiba-tiba curhat sambil menangis.

"Alhamdulillah.. Hidup di sini bikin sehat, dik" Balasnya lagi. Kali ini dengan mata yang setengah mengering, tapi tetap sesungukan.

"Biasanya sehat karena bahagia, bu.. Tinggal di sini bahagia ya, bu?"

Balasku berusaha akrab. Tak ada jawaban, cuma ada cubitan kecil di tangan kiriku bersambut anggukan penuh tawa. Lah? xD




Tempat yang membahagiakan itu, berada tak jauh dari Tugu Pahlawan kota Surabaya. Persis kata si ibu, lingkungan di sana memang bikin sehat. Rimbun dengan pepohonan, keramahan dan rasa  kekeluargaan. Aku beruntung, jadi satu dari sepuluh blogger yang diajak PT Pelindo III untuk berkunjung ke sana. Rasanya seperti pulang ke kampung halaman sendiri. Nyaman sekaligus menyenangkan.

Kunjungan hari itu, mengembalikan ingatanku pada sebuah babak dalam novel Sang Patriot. Diceritakan tentang pertempuran 10 November 1945. Para pejuang yang jelas-jelas kalah dalam persenjataan, tetap maju menghadang tentara Inggris agar tidak masuk dan menghancurleburkan Surabaya. Mereka bersinergi dengan tanah tempat mereka hidup, melawan penjajah. Tanah yang mereka hafal sampai sudut-sudutnya, melindungi mereka dari kejinya tentara Inggris.

Terletak di Kelurahan Bubutan, Kecamatan Bubutan, Surabaya, inilah salah sudut yang menjadi saksi perjuangan rakyat Surabaya masa silam: Kampung Lawas Maspati.

**

Kedatangan rombongan kami disambut dengan konser musik rakyat yang super-asyik! Kami dipersilakan jejogetan sampai capek, ikut nyanyi juga boleh. Kalau urat malu udah putus, bikin konser sendiri ya monggo. Tak lupa jamu kunyit asem dan beras kencur sebagai minuman selamat datang. Belum apa-apa, kampung ini sudah menyuguhkan kebahagiaan.


Setelah puas njoget, kami diajak menyusuri kampung. Tapi belum 10 meter, lagi-lagi kami mendapat sambutan dari grup musik Patrol. Anak-anak warga setempat yang lihai memainkan alat musik dan membawakan lagu-lagu ngajak joget. Yasudah, kami mah blogger cinta goyang, dikasih musik lagi ya joget lagi. Hahahahaha

Tak berhenti di situ, ada juga sambutan dari sepasang ibu dan anak yang gemulai menari-nari dengan baju sangat unik. Busana warna-warni nan megah itu, adalah hasil daur ulang sampah karya warga. Kreatif, ya? Pantas lah kampung ini berhasil menyabet berbagai pengahargaan baik lokal maupun nasional. Dan atas tarian ibu berkostum unik tersebut, kami jadi terdorong untuk joget lagi. Kasian dong dia goyang sendirian. Bhahahaha dasar aja doyan!


Oke, sekarang goyangnya beneran udahan. Kami berjalan melihat bangunan demi bangunan. Salah dua yang menarik adalah Sekolah Ongko Loro dan Rumah Lawas. Sekolah Ongko Loro merupakan sekolah rakyat pada masanya, sampai sekarang, bangunan itu tetap utuh sebagaimana dulu digunakan. Sedangkan Rumah Lawas, adalah yang dulu menjadi kediaman bapak H. Soemargono. Tahun 1930-an, rumah ini adalah pabrik sepatu yang banyak menerima pesanan dari warga Hindia Belanda, karena bapak H. Soemargono memang seorang pembuat sepatu.


Kami bertemu mas Rifky, sang cicit yang kini mendiami rumah tersebut. Dipesilakan masuk dan menengok segala peninggalan kakek buyut. Hampir seluruh perabotan rumah tersebut masih asli, belum diganti sejak dulu. Bau tua menyeruak dan membawa kami jauh ke tahun-tahun perjuangan. Bahkan ada sebuah lemari yang terlihat renta namun gagah, katanya, dulu di lemari itulah H. Soemargono mencuci film-filmnya. Karena selain pembuat sepatu, beliau juga seorang fotografer pada masa kolonial. Ruang gelap, tempat potongan-potongan gambar sejarah pernah diabadikan. 


"Dulu pernah ada orang Jepang ke sini, nyari kakek buyut, katanya mau benerin sepatu. Soalnya dulu bikinnya di sini. Tapi kan sudah meninggal, jadi ya dia pergi sambil kecewa."

"Tahun berapa itu mas?" Tanyaku penasaran.

"2003"

Wah, tahun 2003? Dan sepatu buatan sang kakek masih ada, disimpan oleh pemiliknya. Masih bisa dibetulkan, berarti bukan karya yang main-main, ya. Aku berdecak kagum.

Melangkah lagi, bangunan lain yang menyorot perhatianku adalah losmen Asri. Dulunya, penginapan ini adalah pabrik roti milik Haji Iskak. Saat pertempuran 10 November, tempat ini menjadi dapur umum para pejuang. Di sinilah, dulu, pasokan perbekalan disiapkan. Wah wah.. Setiap lokasi punya sejarah sendiri-sendiri yang bikin merinding.
  
Selain wisata sejarah, Kampung Lawas Maspati juga menyuguhkan mesin waktu. Di gang selanjutnya, kami disambut dengan permainan-permainan tradisional. Ada engkle, lompat karet dan bakiak. Main dong jelas, rugi banget jauh-jauh ke sini gak ikutan main. Merasakan lagi frasa bahagia itu sederhana. Sangat sederhana, sangat bahagia.

Setelah main, kami gak boleh langsung istirahat, karena sudah dinanti oleh pasukan Patrol. Oh yoi, lagi-lagi musik dimainkan dan kami goyang lagi. Ini sehat beneran deh ah, joget mulu! x))


Setiap gang di Kampung Lawas Maspati tak pernah absen dari dua hal: hijau dan kreatifitas. Di sana, setiap rumah wajib melakukan urban farming di halaman masing-masing. Lengkap juga dengan pengolahan pupuk sederhana menggunakan sampah rumah tangga. Di salah satu sudut, terdapat bank sampah yang dikelola secara swadaya dan hasilnya diputar lagi untuk menghidupi kampung. Sampai di sini, aku udah boleh bilang kalau mereka keren banget?


Oh, bukan itu aja. Warga Kampung Lawas Maspati juga berdaya dengan menghasilkan dan menjual aneka produk rumahan. Dari kerajinan daur ulang, olahan pangan, obat-obatan herbal sampai jamu kemasan. Mereka mengubah tanaman-tanaman di halaman menjadi manfaat untuk banyak orang, menyulap sampah menjadi rupiah. Seluruh proses dilakukan sendiri di kampung, dari pengolahan, pengemasan, hingga distribusi dan promosi. 

Kesukaanku, wedang jahe JABLAY. Yap, Jablay adalah merk kebanggan kampung ini, digunakan untuk produk-produk yang mereka hasilkan. Singkatan dari Jadi Belajar Biar Tidak Alay. 

Jadi, Jablay sekarang bukan cuma bisa dipegang, tapi juga disruput! Slurp.

**

Menyusuri Kampung Lawas Maspati adalah menyusuri arifnya Indonesia. Tentang sejarah perjuangan yang semangatnya terus mengiring setiap langkah kita hingga hari ini. Tentang orang kampung yang rukun, guyub, gotong royong, dan menjadi keluarga bagi siapa saja. Tentang tanah surga yang diatasnya dapat tumbuh pangan dan obat-obatan. Tentang bahagia yang sangat sederhana. 

Tentang sebuah kampung yang penuh inspirasi, Kampung Lawas Maspasti namanya.

16 komentar

  1. haduh... seneng banget ya goyang mulu', btw jamu jablay rasanya gimana mbak? dan penjualnya gimana juga mbak? hahaaaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Biasa aja kayak jamu yang lain.. wkwkwk cuma emang lebih nikmat sih, karena suasana kampungnya :D

      Hapus
    2. Trimakasih pungky semoga kampung kami bnyk di kunjungi,dan menambah semangat warga,perekonomian kampung meningkat

      Hapus
  2. Kita boleh setiap saat datang ke kampung lawas maspati ini ya Mbak Pungky. Maksud saya kita tidak perlu izin khusus?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kalo cuma datang, boleh mbak.. Tapi untuk ada penyambutan meriah macam gini, cuma di hari-hari khusus. Atau bisa juga reservasi buat rombongan, jadi nanti disiapkan penyambutan dan guide nya :)

      Hapus
  3. Foto-fotomu makin cethar aja nih dari hari ke hari. Ajarin napaaahhhhh

    BalasHapus
  4. Suka dengan kepanjangan jablaynya... Menginspirasi banget... Jadi belajar biar tidak alay....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, keren ya.. Menarik perhatian dengan istilah jablaynya :D

      Hapus
  5. Balasan
    1. Iyadongs, meresapi lagu grup Patrol ngehehehe

      Hapus
  6. Waahhh... Keren nih liputannya pungky... Jd ikut hanyut dalam kenangan masa lampau. 😍👍

    BalasHapus
  7. cakeeep banget memang kampungnya..dan sehat, seru, bahagia..soalnya joged melulu :). Tapi memang rumah lawas atau kampung yang masih asli seperti ini perlu dipertahankan ya. DI sini banyak tempat-tempat lama yang jadi obyek wisata menarik karena keasliannya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya nte.. Rumah-rumahnya juga masih bau tua. Terasa banget sejarahnya. hehehe

      Hapus