Pungky Prayitno @ 2013. Diberdayakan oleh Blogger.

Badut Selangkangan #2

“kamar berapa tante?”

“anggrek dua, Sa..”

Dia tersenyum kecil. Senyum yang dibarengi genangan air mata hampir tumpah di sudut matanya. Senyum bersamaan dengan tangan kanan yang mengepal. Dan tangan kiri gemetar menenteng kotak makan untuk ayahnya. Namanya Sabrina. Perempuan muda, sangat muda. Tapi mudanya digrogoti kemarahan di wajahnya. Setiap senyumnya berbau getir. Setiap tatapnya beraroma kecewa. Dan setiap sapanya, mengandung pesan lirih “tololng saya!”.

Aku tau pasti bagaimana hari ini adalah hari yang menoreh luka sayat di hatinya. Kotak makan siang kali ini tidak dia antar ke kantor ayahnya seperti biasa. Tapi ke rumah sakit, kamar anggrek dua. Tempat ayahnya menghadiahinya seorang manusia baru dengan sebutan adik. Iya, adik baru. Anak dari ibunya yang bukan darah kandungnya. Istri kedua ayahnya. Istri? Iya, ayahnya dan perempuan sales promotion girl itu menikah diam-diam beberapa bulan lalu. Dua bulan setelah si selingkuhan itu dinyatakan hamil.

Dia berjalan payah menuju kamar anggrek dua. Aku ingat bagaimana dia selalu menyebut ruang kerja ayahnya adalah neraka. Semoga kamar rumah sakit yang akan dia injak kali ini tidak serupa dengan nerakanya. Langkahnya lemah. Diseret pelan dengan tubuh gemetar. Kepalan tangan kanannya semakin mantap. Dan nafas panjang di depan pintu anggrek dua menyiapkan dirinya menuju mirip neraka ke dua.


Aku duduk bersandar pada kursi tunggu di depan meja administrasi rumah sakit. Menunggu petugas rumah sakit menyelesaikan data kelahiran anak bosku. Masih jelas di mataku bagaimana gadis muda dengan ayah kaya berjalan malas menemui orang tuanya. Mengantar makan siang buatan ibunya untuk sang ayah yang sedang menemani persalinan ibu tirinya. Makan siang yang tidak murah. Keluarganya mana kenal pasar. Makan siang mereka diolah dari bahan-bahan berkualitas produk swalayan besar. Tapi siapa sangka, makan siang dengan harga mahal harus beriringan bersama kisah yang menyedihkan. Cinta ibu yang terolah dalam makanan tinggal sisa pemanis atas perjalanan sakit hati seorang gadis.

Mengingatnya aku jadi ingat dengan Abah dan Mamah di kampung. Tanpa perlu jadi kaya. Mereka sanggup membuatku cukup makan nasi sampai aku sebesar ini. Tempe goreng dan tahu bejek setiap hari, ternyata masih sanggup membuat anak semata wayangnya menjadi orang sukses di kota. Jadi pekerja dengan gaji diatas rata-rata lulusan D3 desa. Tanpa banyak harta, Abah dan Mamah membuat tidurku sangat nyenyak setiap malam. Membuatku selalu bahagia dengan kabar-kabar baik dari desa. Kabar-kabar tentang keluargaku yang selalu sederhana, namun utuh. Abah pernah bilang, miskin itu rejeki. Karena dengan kaya, siapa-siapa bisa membeli apa-apa. Termasuk kebahagiaan orang, termasuk istri, termasuk sakit hati. Tapi cinta, tetap bertahan dengan mata uangnya sendiri. Tidak terbeli. Suci.

Ah menyesal rasanya aku pernah menangis dan menuntut Abah untuk kaya. Mengeluh atas miskin tak juga berkesudahan. Merasa sangat dewa bisa kerja di kota. Bermimpi jadi kaya raya. Padahal kini setelah dapat semua, bahagia dulu saat miskin tidak berubah menjadi surga. Tetap saja namanya bahagia. Tetap saja rasanya sama.

Beberapa meter dari tempat aku duduk, terlihat Sabrina keluar dari ruang anggrek dua. Wajahnya datar. Di matanya masih menggenang air yang siap luber di pelabuhannya. Mungkin hatinya sudah luber, mungkin malah banjir.

“adikmu perempuan ya Sa?”

“Anak badut. Mana punya jenis kelamin!” 


Sabrina… Tuhan pasti menyimpan cerita lain untuk kamu dibalik ini semua. Jangan menyesal atas susah sepeti aku dulu aku menangisi miskin. Jangan menuntut indah pada Tuhan seperti aku dulu menjerit minta harta. Tuhan tidak menyakitimu, gadis muda. Hanya sedang membuatmu tau, betapa indah setelah terlebih dulu menikmati susah itu rasanya nikmat! Sangat nikmat!
Percayalah, aku pernah. 

-----------



 bersambung.

 Purwokerto, 8 mei 2011


10 komentar

  1. yapp.."cinta tetap
    bertahan dengan mata uangnya
    sendiri. Tidak terbeli. Suci."

    dan apakah kebahagiaan Sabrina sudah dekat ?? entah, hanya Pungky yang tau..

    BalasHapus
  2. cerita ini bagus, semoga jadi buku ntar.
    sakit itu nikmat, sangat.
    menurutku ini benar, bisa diartikan seperti sesuatu yang kita dapat dari kerja keras itu nikmat meskipun dalam kesusahan yang membuatku sering mengeluh, ohh. bandingkan dengan sesuatu yang kita ambil dari hasil yang tidak baik, ini tidak bertahan lama teman...

    lanjutkan Punk, tak tunggu :D

    BalasHapus
  3. "Ketika kemudahan, keinginan akan harta menggerogoti jiwa, apakah seharusnya kita merasa salah? atau berbangga karenanya?"

    Badut selangkangan,
    kata-katanya keren pungky..
    Saluteee..

    Buruan lanjutannya yaahh.. :)

    BalasHapus
  4. kok sudut pandangny jd brubah y?
    ato cerita ny emng dr bbagai sdut pandng/tokoh?
    nice story, sist
    :)

    BalasHapus
  5. @OPI : kamu maunya kebahagiaan sabrina gimana? hihihihi *menerima request* :D


    @Ajeng : hehe doain aja modemku gak mpot2an lagi. jadi aku bisa nerusin cepet. hihi :D



    @RaradeNanna : hihi siaaaap cantik :D makasih yaah



    @rezkaocta : hehe emang berubah sudut pandang. nanti yang ke tiga juga pasti berubah lagi hihihi :D

    BalasHapus
  6. saya menikmati yg pertama, yg kedua rada gak ngerti karena kurang jelas siap yg bercerita

    menurut pendapat awam saya, konflik batin tokoh aku di episode pertama lebih jelas dan terasa emosinya... salam kenal :)

    BalasHapus
  7. cihuyyyy....kereeeeeeennn...ini seperti pramoedya yang merubah sudut pandang di bumi manusia buku ke4....susah tuh bikin yang kayak gitu...sya tungguin sambungannya Pung...tetap semangaaaatt !!!

    salam :)

    ps. yang ini keren banget >> Tuhan tidak menyakitimu, gadis muda. Hanya sedang membuatmu tau, betapa indah setelah terlebih dulu menikmati susah itu rasanya nikmat! Sangat nikmat!

    BalasHapus